Foto oleh Ekaterina Bolovtsova dari Pexels |
Overthinking
adalah Kemampuan Berpikir yang Sering Disalahgunakan
Sejauh ini, aktivitas
yang paling sering saya lakukan selama terjebak di rumah aja adalah
overthinking. Bahkan jika di-ranking berdasarkan kuantitas total waktu tiap
harinya, overthinking menduduki peringkat kedua sebagai kegiatan paling lama
yang saya lakukan dengan jumlah sekitar tiga jam per hari. Omong-omong, yang
pertama adalah nonton serial Netflix. Saking gabut-nya, saya tidak tahu harus
ngapain lagi dan memutuskan untuk menyiksa diri dengan tenggelam dalam pikiran
saya sendiri.
Permasalahannya, overthinking adalah siklus berpikir yang topiknya itu itu saja, biasanya bersifat negatif, dan pada akhirnya bikin pusing dan stres sendiri. Padahal, semua yang kita pikirkan itu belum tentu benar jika kita mengkhawatirkan tentang masa depan dan tidak bisa diubah jika kita memikirkan tentang masa lalu. Namun, kita terus-terusan membombardir otak dengan asumsi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Terkadang, saya berpikir: kalau dipikir-pikir, kenapa harus dipikirin banget? Nah, saya mulai overthinking lagi.
Saya yakin, saya nggak
spesial. Pastinya, bukan saya saja yang punya kemampuan untuk berpikir secara
berlebihan ini. Ya, anggap saja overthinking ini adalah suatu kemampuan super.
Merancang berbagai macam skenario buruk yang mungkin terjadi besok, memikirkan
alternatif perkataan lain yang seharusnya dikatakan dalam percakapan di masa
lalu, menebak-nebak pandangan orang lain terhadap diri kita sendiri, kita semua
barangkali punya kreativitas berpikir negatif seperti itu. Namun, harus saya
katakan bahwa kemampuan ini ada efek sampingnya. Jika dilakukan terus-menerus,
tidak baik untuk kesehatan.
Perlu disadari bahwa
overthinking sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah atau menghasilkan apa
pun selain kecemasan dan penyesalan. Awalnya, saya berpikir demikian. Beberapa
artikel yang saya baca juga berkata demikian. Hingga akhirnya, saya mencoba
memikirkan tentang overthinking dan mencari sisi terangnya. Saya lakukan hal
itu semata-mata karena saya merasa tidak mungkin menghentikan kemampuan
overthinking di tengah kondisi yang memberikan saya cukup banyak waktu luang.
Setelah membaca artikel
lain yang membahas sisi baik dari overthinking, saya pun sampai pada kesimpulan
bahwa overthinking yang selama ini saya lakukan adalah jenis yang
“disalahgunakan”. Overthinking, dalam beberapa hal, bisa menjadi sesuatu yang
bagus. Setelah melalui proses berpikir dengan memosisikan diri dari sudut
pandang yang berbeda, akhirnya saya bisa menyuguhkan diri saya sendiri beberapa
alternatif penggunaan kemampuan overthinking untuk meminimalisasi efek sampingnya.
1. 1. Kalau cukup kreatif dalam membuat
kemungkinan terburuk, harusnya cukup kreatif juga dalam membuat solusi terbaik
Tentunya
ada kreativitas berpikir yang berperan ketika sedang overthinking. Biasanya,
ketika saya sedang melakukan kebiasaan saya itu, saya hanya akan mencemaskan
masalah-masalah yang ada dan tiada. Padahal, ada satu hal penting, jarang
menampakkan diri, sukanya dicari, ialah solusi.
Jika
sedang asyik overthinking, ada baiknya luangkan waktu untuk memikirkan solusi.
Saya pernah memikirkan suatu masalah, terus-terusan memikirkan “gimana jika …”
hingga akhirnya saya sendiri kehabisan ide untuk membuat diri saya cemas. Saya
pun berdebat dengan diri sendiri mengenai apa yang harus saya lakukan. Ketika
akhirnya saya menemukan solusi yang bagus, untuk pertama kalinya, saya merasa
overthinking adalah sesuatu yang cukup produktif.
2. 2. Sadar atau tidak, overthinking bisa
bikin kita lebih teliti
Detail-detail
kecil seperti “kenapa dia balas chat dengan titik?” saja bisa dipikirkan siang
malam oleh seorang overthinker pro. Bayangkan saja kalau misalnya kemampuan
“terlalu peka” itu lebih diasah lagi.
Suatu
hari, saya akan menghadapi sebuah ujian yang membuat saya nggak bisa tidur,
pikiran kalut nggak karuan. Saya pun mulai mencemaskan hal-hal yang sebelumnya
tidak terpikirkan, seperti “gimana kalau pensil saya jatuh ketika mengerjakan
ujian dan nggak bisa saya temukan, jadinya saya nggak fokus ngerjain ujian?”
dengan kemampuan pada poin satu, solusinya adalah membawa pensil lebih.
Besoknya, ketika mengerjakan ujian, untungnya pensil saya tidak jatuh, tetapi
setidaknya saya sudah prepared for the
worst.
3. 3. Alur overthinking bisa mengantar kita
menuju refleksi diri
Overthinking
biasanya bersifat muter-muter aja. Itu adalah alur overthinking yang
disalahgunakan. Nggak bakal sampai ke mana pun karena, ya, muter terus. Overthinking
biasanya mengantarkan kita menuju penyesalan. Contoh, penyesalan tentang masa
lalu. Harusnya begini, harusnya begitu. Kalau sudah mulai menyesal, jangan
sampai terjebak dan diam di siklus itu. Dorong terus pikiran agar hal itu bisa
jadi bahan refleksi diri.
Ketika
saya sedang overthinking mengenai kegiatan overthinking yang sudah terlalu sering
saya lakukan (oke ini contoh yang buruk, tapi semoga paham), saya terkadang
menyesali waktu yang terbuang sia-sia begitu saja. Harusnya saya nggak
overthinking, harusnya saya melakukan ini, melakukan itu. Sampai lelah sendiri
akhirnya. Saya pun mencoba alternatif poin ketiga ini. Saya mulai berpikir
bahwa harusnya saya bisa menggunakan kemampuan overthinking saya dengan bijak
di lain waktu. Hingga akhirnya ketika saya overthinking lagi, saya bisa
menuntun alur berpikir saya.
Sekiranya seperti itulah
beberapa alternatif penggunaan kemampuan overthinking yang terkadang saya
lakukan. Mungkin tidak selalu mudah untuk dilakukan, tetapi bisa dicoba.
Mungkin masalahnya bisa jadi jauh lebih kompleks daripada contoh-contoh absurd
di atas, tetapi “overthinking yang disalahgunakan” nggak akan membantu
menyelesaikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar