Back to topic. Im back with.... my next failure. Kayaknya sekarang mending to the point aja ya. Hope you enjoy the story ^^
Tak
Sebanding
Dengan langkah setengah berlari
Lana menghampiri meja makan dan mengambil sehelai roti lalu mengoleskannya
dengan selai stoberi. Sesekali, ia melirik jam tangannya dan matanya semakin
melebar karena terkejut dan juga takut.
“Duh, udah jam tujuh! Lana harus
pergi sekarang!” ujarnya dengan mulut dipenuhi roti. Ia pun segera berlari
keluar rumah. Ia bahkan lupa meminum air putih saking terburu-burunya. Dan satu
hal yang bahkan tidak ia sadari dan juga lupakan, Ayah dan Ibunya ada di sana.
Lana tidak berpamitan lagi.
“Mampus deh sekarang. Harus
cepet-cepet nih!” Lana merutuk sambil terus berlari dan berlari. Jarak antara
rumahnya dan sekolah tidaklah jauh. Maka dari itu, dengan berjalan kaki saja
dia bisa sampai di sekolah dalam lima menit.
Lana merasa semakin panik ketika ia
melihat pintu gerbang sudah hampir tertutup. “Pak! Tunggu, pak!” saat itu juga,
Lana berlari semakin kencang. Beruntung, akhirnya ia bisa menembus pintu
gerbang yang hampir tertutup itu. “Huft ….” Lana menghela napas lega dan ia
kini bisa berjalan dengan tenang menuju kelas.
Sesampainya di kelas, Lana
mendengar teman-temannya bergosip tentang sesuatu. “Eh, ngomongin apa sih?”
tanyanya kepada salah satu teman yang duduk di depannya. Kebetulan, Lana yang
sedikit pemalas dalam berbagai hal itu duduk di deretan paling akhir.
“Katanya mau ada murid baru di
kelas ini. Dan nanti, dia pasti duduk sama
…,” salah satu teman Lana itu tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena
Bu Wati, wali kelas mereka sudah datang.
“Baik anak-anak, Ibu di sini ingin
memperkenalkan murid baru yang akan belajar bersama kalian di kelas ini
kedepannya.” Bu Wati lalu menoleh ke arah pintu masuk kelas. “Ayo, Nak. Masuk.”
Seorang perempuan berpenampilan
rapi masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi yang sangat datar. Ketika
memperhatikannya, Lana mulai menganggap kalau murid baru itu tidak punya gairah
hidup sama sekali.
“Perkenalkan dirimu.” Perintah Bu
Wati.
“Baik. Perkenalkan, nama saya
Seila.”
Hening sejenak. Semuanya menunggu
Seila untuk melanjutkan.
“Itu saja dari saya. Tidak ada hal
lain yang perlu kalian ketahui, terima kasih.” Ucapnya setelah perkenalan diri
yang pendek itu.
“Hm, baiklah kalau begitu. Seila,
kamu bisa duduk di samping Lana.” Kata Bu Wati tanpa ingin mendesak Seila untuk
memperkenalkan dirinya lebih jauh lagi. “Baik, Bu.” Sahut Seila dengan suara
semut dan berjalan menuju meja Lana. Ia sempat menatapi Lana lekat-lekat
sebelum duduk di sampingnya. Sedangkan Lana sendiri tak terlalu memperdulikan
Seila yang ia anggap anak aneh itu.
***
Saat jam istirahat, beberapa
teman-teman Lana tinggal di kelas untuk memakan makan siang yang mereka bawa
dari rumah. Ia sebenarnya juga akan melakukan hal yang sama, namun Lana lebih
memilih untuk tidak membawa bekal buatan Ibunya itu karena menurutnya makanan
di kantin lebih enak.
“Eh, kamu enggak bawa bekal? Mau ke
kantin bareng aku?” tanya Lana kepada Seila. Teman sebangkunya itu lalu
menggeleng.
“Ya udah, aku ke kantin dulu, ya.”
Kata Lana dan beranjak dari kursinya. Tapi sebelum itu, ia mendengar suara
dering telepon yang terdengar dari dalam tasnya. Dengan cepat Lana mengambil handphone-nya dari dalam tas.
“Ya? Kenapa nelpon, Bu?”
“Bekalnya kok di tinggal lagi?”
tanya Ibunya di ujung sana.
“Biasa, Lana lupa, Bu. Besok-besok
Ibu enggak usah buatin Lana bekal. Lana beli di kantin aja.”
“Lana, mendingan kamu bawa bekal
aja. Selain kesehatannya terjamin, juga kamu bisa hemat uang jajan, kan?”
lagi-lagi Ibunya berceramah seperti biasa. Sampai-sampai telinga Lana rasanya
sudah sangat sangat bosan mendengar ceramah seperti itu.
Lana memutar bola matanya dan
mendesah. “Terserah Ibu, deh. Lana mau ke kantin sekarang.” Lalu, Lana
mengakhiri teleponnya.
***
“Kamu enak, ya. Punya Ibu yang
perhatian.” Baru saja Lana sampai di kelas setelah datang dari kantin, ia sudah
diberi perkataan yang terdengar aneh di telinganya. Hal mengejutkannya,
perkataan itu muncul dari Seila, yang daritadi hanya diam saja.
“Perhatian apanya? Ibuku tuh ya,
sukanya ngomel terus.” Sanggah Lana.
“Artinya Ibu kamu sayang sama
kamu.” Lana membalas dengan wajah yang tampak kian murung. Ia tampak begitu
sedih akan sesuatu.
Lana pun mencoba untuk ramah kepada
teman sebangkunya itu. “Emangnya, Ibu kamu gak kayak gitu?”
Seila menggeleng. “Bahkan Ayahku
pun sama. Dan sekarang, orang tuaku bercerai.”
“Kenapa mereka cerai? Apa
alasannya?” Lana tak bisa membayangkan bagaimana jika Ayah dan Ibunya bercerai.
Ia tak ingin hal itu terjadi.
“Karena Ibuku selingkuh. Dan
sekarang aku tinggal bersama Ibuku. Asal kamu tahu, Ibuku sangat berbeda dengan
Ibumu. Tak peduli seberapa baiknya aku kepadanya, Ibu tetap saja mengabaikanku
dan tidak memperhatikanku.”
Lana tiba-tiba teringat akan
perbuatannya kepada Ibunya. Sengaja melupakan bekal yang sudah dibuatkan, tidak
berpamitan, tidak mengabari kalau ada kerja kelompok, ia tak pernah memikirkan
Ibunya yang selalu memikirkan dan mengkhawatirkannya.
“Dan ayahku, dari dulu selalu sibuk
dengan pekerjaannya. Mereka sepertinya menganggap kalau memberiku uang untuk
hidup saja sudah cukup, sedangkan kasih sayang tidak diperlukan.” Kata Seila
lagi dengan mata berkaca-kaca. Saat itu juga, Lana benar-benar tak bisa
mengatakan apapun. Ia bisa membayangkan kesedihan itu jika saja hal yang sama
terjadi padanya.
Lana juga membayangkan bagaimana Ayahnya
yang selalu menyempatkan diri untuk pergi ke kamarnya dan menanyai tentang
hari-harinya walaupun Ayahnya juga sangat disibukkan oleh pekerjaan. Namun,
Lana malah menjawab sekedar dan menganggap kalau Ayahnya menganggu.
“Aku mengatakan hal ini agar kamu
bisa bersyukur punya orang tua seperti mereka. Selain itu juga menghargai
mereka.” Sambung Seila lagi seraya menghela napasnya, seolah ia sudah menahan
napas sejak mulai berbicara.
Suasana hening menyeruak untuk
beberapa saat. Sebelum akhirnya Lana angkat bicara. “Makasih, La. Karena kamu,
aku sadar udah melakukan banyak kesalahan dengan orang tuaku. Aku selalu
mengabaikan mereka dan enggak menghargai mereka. Aku benar-benar menyesal, La.”
Lana terpaku untuk beberapa saat seraya merenung.
Seila lalu mengelus-elus pundak
Lana seolah ingin menenangkan sekaligus meyakinkan. “Lan, seharusnya kamu
ngomong gitu sama mereka. Setidaknya, kamu udah sadar akan perbuatanmu. Mereka
itu penting, Lan.”
Lana lalu tersenyum seraya
mengangguk mantap. Ia akan berubah, saat itu juga.
***
“Lana? Wah, anak Ibu udah bisa
bangun pagi, nih!” celetuk Ibunya ketika melihat Lana yang sudah duduk di
samping meja makan menunggu sarapan.
“Ini Lana anak Ayah, kan?”
tiba-tiba Ayah juga datang sambil membenarkan dasinya dan juga tersenyum lebar.
Lana mendengus mendengar perkataan
kedua orang tuanya yang ia tahu hanya sekedar bercanda itu. “Iya, ini Lana anak
Ayah sama Ibu, kok.”
Seketika saat itu juga, mereka
tertawa bersama-sama. Lana tak tahu kalau suasana seperti ini terasa begitu
hangat dan menyenangkan. Ia bahkan baru menyadari kalau makan sarapan bersama
keluarga juga terasa berbeda. Lebih menyenangkan, tentunya daripada sarapan
terburu-buru.
Selesai sarapan, Lana pun meraih
tangan kanan Ayahnya dan menciumnya. Lalu, ia juga melakukan hal yang sama
kepada Ibunya. “Ibu, Ayah, Lana pergi ke sekolah sekarang, ya.” ucapnya tak
lupa dengan senyum manis di bibirnya. “Oh ya. Bekalnya udah Lana bawa, kok.
Lana udah inget.” Imbuhnya.
Ayah dan Ibu Lana terlihat sedikit
terkejut dengan perubahan drastis yang terjadi pada anak mereka. Sampai
akhirnya mereka bisa mengendalikan keterkejutan itu. “O-oh, Iya, Nak. Hati-hati
di jalan, ya.” Kata Ayah. “Hati-hati di jalan, Sayang.” Kata Ibu.
Dan saat itu, Lana pun pergi
meninggalkan kedua orang tuanya dengan senyum yang seolah melekat pada
bibirnya. Ia baru merasakan dan menyadari seberapa penting keluarganya dalam
hidupnya. Bahkan hal-hal kecil seperti itu, berarti begitu besar untuknya dan
juga orang tuanya.
Sedangkan di sisi lain, kedua orang
tua Lana masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. “Bu, Lana kenapa, ya?
Kemarin, dia juga bisa ngobrol banyak sama Ayah. Enggak kayak biasanya.” Kata
Ayah masih dibuat terheran-heran.
“Ibu juga enggak tahu. Ayah lihat
kan, tadi? Bekalnya Ibu akhirnya dibawa!” Ibu tak bisa menyembunyikan rasa
senangnya saat itu.
“Tapi baguslah kalau anak kita
berubah seperti itu.” Ujar Ayah sambil tersenyum lebar. Ia lalu melirik jam
tangannya. “Oh ya. Sekarang giliran Ayah yang berangkat.”
“Iya, hati-hati di jalan, ya.”
Dan pada akhirnya, mereka pergi
dengan senyuman, dan pulang juga dengan senyuman. Bersama merasakan hangatnya
kasih sayang keluarga yang tak sebanding dengan apapun.
***
Emang pantes buat kalah yak? :v anyway, sorry for the cover. itu buatnya bener-bener ngawur karena baterai laptop masih dikit :'v
Dan kayaknya, laptopku udah mau mati nih. so, I've to say goodbye, and see ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar