Akhirnya, kembali lagi dengan postingan cerpen. Setelah memerlukan waktu cukup lama untuk menyadari kalau sebenarnya masih ada stok cerpen yang kalau dibuang sayang. Anyway, cerpen ini dibuat di tahun 2020, entah pada bulan apa. Intinya, karya yang dibuat di tahun 2020 adalah hasil dari kejenuhan because we all know how 2020 went like.
Tanpa banyak basa-basi lagi, selamat membaca cerpen ini!
Kita
Sudah Sejauh Ini
Di
atas atap gedung, kita saksikan kehidupan seantero kota melalui cahaya-cahaya
lampu. Kau duduk di sampingku sembari sibuk bercerita, aku sibuk mendengarkan.
Angin malam berdesir, tetapi itu sama sekali tidak mengusikmu yang hanya memakai
terusan putih tak berlengan, sedangkan aku malah berlindung di balik jaket
kulit tebal. Sepertinya kau memang tidak pernah terusik oleh apapun. Kau terus
bercerita, membangkitkan memori yang sudah lama ingin kukubur dalam-dalam.
“Di
sana, tempat pertama kali kita ketemu. Gelap banget, hampir nggak kelihatan
kalau malam-malam begini.” Kau menunjuk bangunan berlantai tiga yang tidak jauh
dari pusat kota. Aku mulai terkekeh. Sekolah di malam hari memang gelap,
seperti tak berpenghuni jika dibandingkan bangunan-bangunan di sampingnya.
“Sekarang,
kita cuma bisa mengenang kehidupan yang pernah ada di sana. Kita sudah sejauh
ini, tapi rasanya baru kemarin kita jadi anak sekolahan, kan?”
Aku
melihatmu mengulaskan senyum. Rambutmu yang tergerai bergerak-gerak dimainkan
oleh angin. Kau begitu dekat, tetapi juga begitu jauh tak tergapai.
Terlalu
asyik memandangimu, membuatku lupa untuk merespons. Tadinya, aku mau mengiyakan
ucapanmu. Alih-alih, aku mendapati diriku ikut tersenyum.
Hingga
akhirnya, kau menoleh membalas tatapanku. “Kita sudah sejauh ini ….” Kau
mengulangi kata-kata itu lagi. Aku tersentak, mengalihkan pandangan.
Keheningan
menyeruak. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Kurapatkan jaket untuk menguatkan
diri.
“Di
sana, kamu ingat?” kau mulai bicara lagi sembari menunjuk ke suatu titik. Di
sana, di sisi kota yang ramai dan gemerlap oleh cahaya warna-warni, tampak
bianglala berputar menonjol dari tempatku berdiri. “Kita pernah menghabiskan
waktu di sana!” seruan penuh semangat itu terdengar tidak asing. Setiap
seruanmu terdengar familiar. “Secara tidak langsung, kita jadi saksi
orang-orang yang sedang jatuh cinta, tersesat, atau mungkin orang-orang yang
sedang berusaha melupakan kesedihannya dari sini. Bayangkan, pasti banyak
sekali yang sedang terjadi di sana detik ini, sedangkan yang kita rasakan hanya
keheningan.”
Aku
pun yakin ada banyak cerita yang terjadi di karnaval itu. Barangkali momen yang
kita miliki di sana terulang, tetapi oleh dua orang yang berbeda. Kenangan itu
kembali menyusup ke dalam benakku dan membangkitkan rasa rindu. Kini
aku benar-benar berharap kau berhenti sejenak. Harusnya aku tidak datang
menemuimu.
“Oh,
lihat!”
Aku
ingin berhenti mendengarkanmu.
“Di
sana!”
Tapi
aku benar-benar merindukanmu. Lagi-lagi kuarahkan tatapanku ke tempat yang kau
tunjuk. Ceritamu terlalu indah untuk dilewatkan.
“Jantung
kota. Ah, di sana pasti ada lebih banyak hal yang terjadi. Tapi aku yakin,
orang-orang yang sedang jatuh cinta ada di mana-mana. Cerita menarik apalagi
yang bisa terjadi di jantung kota selain itu?”
Pertanyaan
itu membuatku tersenyum miris. Kau tahu apa yang ada di pikiranku.
“Oh
ya, orang-orang yang patah hati, putus cinta. Selain itu, apa lagi?”
Kini
aku tertawa kecil dan kau selalu tahu apa artinya.
“Hahah,
iya. Orang-orang yang jatuh cinta lagi dan kembali pada orang yang sama.”
Aku
mengangguk dengan senyuman yang masih tersisa. Jantung kota dengan alun-alunnya
yang selalu ramai itu telah menjadi latar berbagai kenangan. Di sana, aku
pernah melihatmu tertawa terpingkal-pingkal hingga menangis tersedu-sedu. Dan
semua itu karena aku.
“Kembang
api!” Kau berseru lagi. Kali ini hampir berteriak.
Aku
mengikuti arah pandangmu. Di atap gedung lain, tampak sekumpulan orang berpesta.
Kita mendengarkan kembang api berkeletup-keletup dan melihatnya mekar dengan
begitu indah, kemudian perlahan menghilang bagai ditelan langit hitam.
Samar-samar, terdengar juga sorak sorai orang-orang yang berpesta itu.
“Kamu
tahu apa yang mereka rayakan?” Ketika mengucapkan kalimat itu, suaramu
terdengar kecil. Hampir seperti sesuatu yang tidak ingin kau ucapkan, tetapi
malah meluncur begitu saja dari mulutmu.
Aku
menggeleng sambil menunggumu melanjutkan ucapanmu.
“Kita
bisa saja sampai di sana,” kau menatapku. Sorot matamu meredup. Senyuman yang
selalu menghiasi wajahmu kian memudar. Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Dan
kali ini aku benar-benar tidak ingin mendengarmu.
“Tapi
maaf,”
Aku
memalingkan wajahku. Aku tahu kau akan mengatakannya lagi.
“Kita
sudah sejauh ini, tapi aku harus pergi.”
Benar.
Kita sudah sejauh ini. Namun, kau membiarkanku berjalan sendiri. Meskipun
terkadang kau hadir dalam bentuk bayang-bayang. Bahkan, aku terkadang masih
menganggap kita hidup di dunia yang sama. Kau masih hadir, dalam pikiranku atau
seperti yang sedang terjadi saat ini.
Dadaku
terasa semakin sesak. Selama setahun, aku hanya bisa mendengarmu tanpa bisa
membuat memori yang baru bersama. Masih sulit untukku menerima kenyataan bahwa
cerita kita kandas begitu saja. Entah aku yang tidak bisa melupakanmu, atau aku
memang tidak ingin melupakanmu. Terlalu banyak kenangan yang harus dilepas.
Suaramu
sudah tak terdengar lagi. Aku pun tahu, kini kau sudah menghilang lagi. Meninggalkanku
lagi. Dan aku mencoba menghadirkanmu lagi, menunggumu kembali bercerita.
Keren ka,, jangan lupa kunjungi blog ku ya kak :)
BalasHapusLagi merasa sedih/galau? Mungkin artikel ini bisa membantu mengatasinya.
http://katakitaini.blogspot.com/2021/01/kamu-juga-berhak-bahagia.html
makasii, okay kak ;)
Hapusmantapp gannn
BalasHapusmakasii gann
Hapus