Btw, aku kembali setelah beberapa bulan--hm, kurang lebih 2 bulan gak nge-post apa-apa, ya? Aku kembali membawa 'cerpen hasil kegagalan'. huft, namanya juga Miss. Failure. nyoba apa-apa pasti gagal. tapi semoga kedepannya gak gitu, ya~ gak gagal terus dari dulu :'D
And here's my short story about.... mistery. chek it out!
Ketika
Matahari Terbenam
Hari pertama ketika aku menempati rumah baruku, aku
menyaksikan sesuatu yang sangat menyeramkan. Ketika hendak tidur dan menutup
jendela, aku merasa ada yang aneh pada rumah tetanggaku. Karena jendela kamarku
berhadapan dengan jendela kamar tetangga baruku, jadi melalui jendela, aku bisa
melihat dan mendengar sesuatu yang mengerikan di dalam ruangan di rumah
tetangga yang bahkan belum kukenal itu.
Sesuatu melintas-lintas dengan cepat, dan tiba-tiba
saja berhenti. Aku menyipitkan kedua mataku untuk memfokuskan diri pada sesosok
mahkluk dengan pakaian panjang berwarna putih berdiri seolah menatapku dengan
kedua mata hitamnya yang dikelilingi oleh kegelapan dalam ruangannya itu,
ditambah rambut acak-acakan yang membuat wajahnya tidak terlihat dengan jelas. Seolah
menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya, ia pun berjalan mendekati jendelanya
dan aku pun mulai bersiap-siap menarik gorden untuk tidak melanjutkan melihat
sosok mengerikan itu. Namun tiba-tiba saja ia menjerit dan membuatku tersentak.
Dengan refleks, aku pun menutup gorden dan berbalik dengan gerakan cepat dan
napas tercekat.
Apa itu tadi? Batinku dalam hati.
Keesokan paginya, aku melihat sepasang suami istri
yang sudah lanjut usia keluar dari rumah dengan sosok misterius yang kulihat
kemarin. Aku pun segera menghampiri mereka untuk sekedar menyapa dan
memperkenalkan diri.
“Kau anak baru di sini, ya?” tanya seorang wanita
tua dengan seulas senyum ramahnya. “Oh, iya. Aku baru saja pindah ke sini
kemarin.” jawabku sambil menunjuk ke arah rumahku. Lalu aku kembali berkata
sambil menjulurkan sebelah tanganku. “Hm, perkenalkan, namaku Lucy.”
Kini giliran lelaki tua yang meresponsku. Ia
menjabat tanganku dan berkata, “Panggil saja kami berdua Tuan dan Nyonya
Tyler.” Aku pun mengangguk untuk mengiyakan. Setelahnya, kami
berbincang-bincang sedikit mengenai lingkungan rumah tempat tinggal baruku.
Sebenarnya, aku ingin berbicara mengenai rumah tinggal Tuan dan Nyonya Tyler.
Tapi mereka tiba-tiba saja bilang harus pergi.
“Senang bertemu denganmu, Lucy. Sekarang kami harus
pergi.” ujar Nyonya Tyler dengan senyum yang mengembang di wajah keriputnya.
“Oh, baiklah kalau begitu.”
***
Malam harinya, aku mendengar hal aneh lagi. Aku pun
semakin merasa penasaran. Ketika matahari mulai terbenam, dan hari mulai gelap,
segala hal aneh terjadi di rumah tetanggaku itu. Aku merasa, rumah itu
menyimpan sebuah misteri yang sedikit bersifat mistis.
“Aaaaaa…!” terdengar jeritan. Aku pun segera berlari
mendekati jendela sambil menyibak gorden dengan gerakan cepat. Kulihat ruangan
di dalam rumah sudah gelap. Tapi ketika aku ingin melihat sosok misterius itu
dengan lebih jelas lagi, ia malah menutup gorden dengan cepat dan sangat
tiba-tiba.
“Huft, kurasa aku tak bisa melihatnya lagi.” ujarku
pasrah ketika gorden sudah di tutup. Aku pun melakukan hal yang sama dan
bergegas tidur. Ada berbagai hal yang berkecamuk dalam pikiranku mengenai
berbagai kejadian di rumah tetanggaku itu. Apakah hanya aku yang menyadarinya?
Keesokan paginya, seperti biasa, aku menyapa Tuan
dan Nyonya Tyler ketika tidak sengaja bertemu di depan rumah mereka. Tuan Tyler
balas menyapaku. Namun Nyonya Tyler malah menatap aneh ke arahku, seolah ia
sedang mengingat-ingat siapa diriku. Tapi tak mungkin dia melupakanku. Kita
kan, sering bertemu.
“Apa kalian akan pergi hari ini?” tanyaku sedikit
basa-basi.
“Iya. Kami harus pergi.” jawab Tuan Tyler. “Oh, jadi
begitu. Kalian selalu saja pergi. Padahal, aku ingin mengunjungi kalian
sekali-sekali.” Kataku dengan nada setengah bergurau. Tuan Tyler tertawa, lalu
berkata, “Kita akan datang dengan cepat hari ini, Lucy. Nanti sore, kau bisa
mengunjungi kami.”
“Wah, benarkah?” tanyaku dengan wajah berseri-seri. “Iya,
tentu saja.”
Mendengarnya, membuatku merasa senang dan tidak
sabar untuk bisa mengunjungi Tuan dan Nyonya Tyler ke dalam rumah mereka. Aku
pun mulai menunggu sore hari tiba. Tapi rasanya seperti menunggu sesuatu yang
akan tiba seminggu lagi. Benar-benar lama dan membosankan.
Aku menunggu di teras rumah sampai jam 5 sore, dan akhirnya mereka datang. Sambil
melambaikan tangan dan tersenyum, aku berteriak, “Tuan Tyler, Nyonya Tyler!” setelah
mereka menoleh, aku pun berlari menghampiri. “Sesuai janji, aku akan
mengunjungi kalian hari ini.”
Tuan Tyler tertawa kecil, “Baiklah, baiklah. Sepertinya
kau sangat ingin mengunjungi kami.” setelah mengatakannya, Tuan Tyler pun
mempersilahkanku untuk masuk. Aku merasa sedikit aneh, karena Nyonya Tyler
daritadi hanya diam saja.
Aku berjalan mengekori Tuan dan Nyonya Tyler ke
dalam ruang tamu. “Duduklah dulu di sini, Lucy.” Ujar Tuan Tyler, sedangkan
Nyonya Tyler menaiki tangga untuk menuju ke ruangannya, tanpa mengatakan
sepatah katapun kepadaku. “Oh, baiklah.” Setelah itu, Tuan Tyler pergi ke
dapur.
Mataku pun mulai mengembara ke segala penjuru rumah.
Beberapa barang, tampak seperti habis terjatuh dan dibiarkan. Setelah itu, aku
pun beranjak dan kakiku mulai mengajakku untuk berkeliling. Rumah Tuan dan
Nyonya Tyler memang tertata dengan baik dan rapi. Namun ada beberapa barang
yang seperti habis dilempar.
“Lucy, kau sedang apa?” tiba-tiba Tuan Tyler sudah
berdiri di dekat sofa sambil membawa dua gelas minuman. Aku menoleh dan
tersenyum. “Oh, hanya berkeliling sedikit.” Aku pun berjalan mendekati sofa
lalu duduk. Tuan Tyler memberikanku segelas minuman es jeruk dan ikut duduk di
sofa. “Ngomong-ngomong, apakah Nyonya Tyler baik-baik saja? Dia bahkan tak
bicara sepatah katapun daritadi.”
“Oh, tentu saja. Dia baik-baik saja.”
Namun aku merasa ada kebohongan di balik jawaban
Tuan Tyler. “Apakah dia sedang beristirahat?” tanyaku. Lalu, Tuan Tyler
mengangguk. Aku merasa Tuan dan Nyonya Tyler bertingkah aneh. Pasti ada hal
yang mereka sembunyikan. “Apakah kalian tidak merasa ada yang aneh di tempat
ini?” tanyaku.
“Apa maksudmu?” Tuan Tyler mengerutkan kening dan mulai
menatapku lekat-lekat. “Maksudku, hm…, aku melihat begitu banyak barang-barang
yang seperti habis di lempar. Apa yang terjadi?” aku balik menatap Tuan Tyler.
Namun ia memalingkan wajahnya seolah tak ingin menjawab pertanyaanku, atau
sedang mencari alasan untuk menjawab. “Hm…, kami berdua adalah orang tua yang
ceroboh. Dan istriku sangat sering menjatuhkan barang-barang.” Kata Tuan Tyler.
Namun aku tak lantas percaya itu adalah alasan yang sesungguhnya. “Minumlah,
Lucy. Kita hanya punya waktu sedikit untuk berbincang-bincang. Ini sudah sore.”
Kata Tuan Tyler lagi.
“Memangnya kenapa kalau sudah sore?”
“Matahari akan tenggelam, dan sebentar lagi akan
gelap.” dengan satu kalimat itu, aku melihat perubahan ekspresi yang tak kutahu
apa artinya dari Tuan Tyler.
Setelahnya, Tuan Tyler mengganti topik pembicaraan
dengan cepat. Kita pun berbincang-bincang mengenai banyak hal. Sampai kusadari
bahwa tak ada lagi cahaya yang memasuki ruangan melalui jendela. Hari sudah
gelap. Namun aku menganggap inilah kesempatanku untuk tahu apa yang sebenarnya
terjadi di dalam rumah ini. Lagipula, Tuan Tyler sepertinya masih ingin
mengobrol denganku.
“Wah, tak terasa sudah pukul setengah delapan.
Kurasa kau sebaiknya pulang sekarang, Lucy.” Akhirnya Tuan Tyler sadar bahwa
ini sudah malam. Tapi aku segera menggeleng dan berkata, “Aku bosan di rumah.
Kurasa sebaiknya aku di sini dulu.”
Ekspresi wajah Tuan Tyler tiba-tiba berubah. Ia
tampak gelisah, namun berusaha untuk mengulaskan senyum. Kami pun mengobrol
kembali. Namun aku melihat gerak-gerik yang aneh pada Tuan Tyler. Saat
berbicara, ia terkadang melirik ke arah jam dinding dan sedikit mendongak
menatap lantai dua. Aku jadi semakin curiga kepadanya.
“Sudah pukul delapan.” Gumam Tuan Tyler. Ia tampak
semakin gelisah. Dan tiba-tiba saja…, “AAAAA…!” teriakan itu! Aku sering
mendengarnya setiap malam. “Siapa itu, Tuan Tyler?” kataku dengan cepat. Tuan
Tyler segera bangkit dan menarikku untuk keluar rumah. Tapi tiba-tiba saja
sesuatu mendarat di kepalaku. “Aduh!” aku meringis kesakitan sambil meraba-raba
kepalaku yang terkena lemparan dan sepertinya lemparan itu berasal dari lantai
dua.
“Lucy, kau tidak apa-apa? Sebaiknya kau pergi
sekarang!” kata Tuan Tyler. “Tidak!” kataku dengan cepat. “Aku harus tahu apa
yang sebenarnya terjadi di sini.” Aku pun berjalan menuju tangga dan
menaikinya. Ada sesuatu di lantai dua. Ah, Nyonya Tyler kan, ada di sana! Aku
pun menaiki tangga dengan cepat, tanpa menghiraukan larangan dari Tuan Tyler.
Mungkin saja Nyonya Tyler sedang dalam bahaya.
Ketika sudah ada di lantai dua, aku melihat seorang
wanita tua berteriak-teriak sambil melempar berbagai benda yang ia lihat.
Setelah kuperhatikan lagi, ternyata dia adalah Nyonya Tyler! “Oh, tidak!”
celetukku sambil menutup mulut. Nyonya Tyler langsung menatapku dengan
tajamnya. Dia memang mirip dengan sosok yang sering kulihat secara sekilas
melalui jendela.
“Lucy! Cepatlah turun! Aku akan memberitahumu
segalanya!” teriak Tuan Tyler di lantai bawah. Nyonya Tyler sudah berjalan
dengan pelan mendekatiku, sambil berteriak-teriak. Namun aku segera berlari
menuju lantai bawah seperti yang dikatakan oleh Tuan Tyler.
Tuan Tyler lalu mengajakku keluar dari rumah untuk
menghindari Nyonya Tyler. “Lucy, kau harus tahu satu hal ini. Kau mungkin
terganggu oleh teriakannya. Tapi itu memang terkadang terjadi pada lansia yang
memiliki penyakit demensia. Dia mengalami Sundowning
Syndrome. Di mana ketika matahari tenggelam dan hari mulai gelap, dia mulai
marah-marah, gelisah, bahkan berteriak. Sekarang, pulanglah, Lucy. Kuharap kau
bisa mengerti.” Kata Tuan Tyler sambil memegang bahuku dan menatapku seolah
ingin meyakinkan. “Yang kau lihat selama ini adalah Nyonya Tyler.”
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan meninggalkan
Tuan Tyler menuju rumah. Aku bahkan tak bisa melontarkan sepatah katapun pada
saat itu. Tapi pada akhirnya, aku pun merasa lega dan bisa tidur dengan nyenyak
di hari-hari setelahnya.
-THE
END-
Yeahh, itulah cerpennya yang kalah. biasa aja. alurnya juga biasa. maunya buat plot twist. tapi apalah. dengan cerpen seperti ini, begitu di salin di kertas empat lembar, makin di salah-salahin kalimatnya sama yang nyalin (tidak disengaja, kok). tapi biarin dah. sudah berlalu, ya gak sih? lagian bukan sepenuhnya salah yang nyalin. aku juga buat cerpen 4 lembar katanya banyak :'D duh, seperti biasa, aku curcol di sini. abis..., ah, sudahlah. Hope you enjoy the story, and.... see you!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar