"Saya berbicara untuk pohon-pohon, karena pohon-pohon tidak memiliki lidah," ungkap Dr seuss, melalui lidah seorang tokoh penjaga hutan dalam karyanya yang berjudul The Lorax. Ketika mendengar ungkapan itu melalui seorang tokoh fiksi, saya terenyuh. Nyatanya, kini kita pun harus mengatakan hal yang sama untuk melindungi berbagai ancaman yang sedang mengintai hutan kita.
Berita-berita terkait deforestasi, hutan gundul, hingga penebangan pohon liar sudah menjadi hal yang familiar kita lihat di berbagai media. Seiring dengan itu, isu perubahan iklim, bencana banjir, tanah longsor, dan dampak sosial yang datang mengikutinya juga merupakan suatu topik yang banyak tersebar di internet. Hal itu bukanlah suatu kebetulan karena keduanya saling berkaitan.
Oleh karena itu, mari kita coba pahami permasalahan hutan yang sedang kita hadapi. Saya akan mencoba melakukannya dengan berbagi sebuah cerita perjalanan dan bagaimana pengalaman mengajari saya hal yang penting. Ini adalah cerita sebuah pengalaman menelusuri beberapa bagian hutan di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Awal Perjalanan
Tak pernah terpikirkan oleh saya untuk bisa pergi ke Pulau Kalimantan ketika dunia sedang mencoba memulihkan diri dari pandemi. Pada tahun 2021, saya berkesempatan untuk menjadi peserta dari suatu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak muda terkait isu perubahan iklim. Tidak hanya melalui pematerian yang dilakukan secara daring, para peserta juga berkesempatan untuk melakukan field trip ke beberapa daerah di Indonesia. Kalimantan adalah pulau yang ingin saya kunjungi sejak lama, dan kebetulan saya bisa menjadikan pulau terbesar di Indonesia itu sebagai destinasi field trip pilihan saya.
BACA JUGA: Cerita tentang Aku, Hutan, dan Kita
Maka, untuk pertama kalinya berangkatlah saya ke Pulau Kalimantan. Ketika sudah akan akan mendarat, nampak hamparan hutan hijau menutupi luasnya tanah Kalimantan. Namun, ada juga beberapa bagian yang kontras, berwarna coklat gersang tanpa satu pun pohon berdiri di atasnya.
Sumber: Materi online gathering Eco Blogger Squad 2023 oleh Hutan Itu Indonesia. Barangkali lahan-lahan yang sudah kehilangan warna hijaunya memiliki keterkaitan dengan data di atas. Bayangkan, area berhutan di Indonesia sudah kehilangan daratan sebesar 3,5x Pulau Bali. Selain itu, deforestasi terus berlanjut dan berbagai dampak buruknya sudah terjadi. Perubahan iklim semakin parah dengan adanya sumbangan emisi gas rumah kaca. Dan hal itu tak hanya akan merugikan kita sebagai manusia, tetapi juga keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan. Memasuki Kehijauan Hutan KalimantanHutan pertama yang saya telusuri di Kalimantan adalah Hutan Lindung Sungai Wain. Sekitar 15 kilometer dari pusat kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) merupakan penopang hidup wilayah urban Balikpapan.
Ketika memasuki kawasan hutan, rindangnya pepohonan membuat suasana terasa begitu sejuk. Jenis pepohonan yang paling banyak kami temui adalah pohon ulin, si pohon besi yang tumbuh menjulang tinggi. Adapun suara-suara binatang samar-samar terdengar di sepanjang perjalanan, terutama dari para burung dan sempat muncul dari orangutan. HLSW memanglah menyimpan keanekaragaman hayati. Terdapat ratusan jenis satwa yang hidup di dalamnya. Selain itu, HLSW juga merupakan rumah bagi beberapa jenis satwa liar yang berstatus dilindungi dan terancam punah, seperti macan dahan, beruang madu, lutung mera, uwa-uwa, orang utan, kera ekor panjang, beruk, bekantan, dan lutung dahi putih. Bertemu OrangutanSetelah melakukan trekking di HLSW, petualangan kami berlanjut ke tempat konservasi orangutan. Masih berlokasi di kawasan Balikpapan, Kalimantan Timur, kami bertemu dengan beberapa orangutan di Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari. Para orangutan yang ada di tempat konservasi adalah mereka yang kehilangan rumah akibat kebakaran hutan, deforestasi, dan perburuan untuk konsumsi dan perdagangan satwa ilegal. Di sana, mereka direhabilitasi sebelum akhirnya dilepasliarkan ke hutan liar. Orangutan merupakan satwa arboreal (hidup di atas pohon) terbesar di dunia. Oleh karena itu, deforestasi maupun kebakaran hutan sangat berdampak pada keberlangsungan hidup mereka. Pergi ke pusat rehabilitasi mereka, saya mulai membayangkan bagaimana para orangutan ini harus ‘tergusur’ bahkan terluka oleh tindakan kita. Mirisnya, orangutan tentu bukanlah satu-satunya yang mengalami dampak parahnya. Kehilangan hutan akan menjadi kehilangan untuk kita juga. Mengelilingi Hutan MangroveJenis hutan lain yang tak kalah pentingnya dalam kehidupan kita dan dapat menjadi salah satu pelindung dari dampak perubahan iklim adalah hutan mangrove. Di Pusat Mangrove Graha Indah, Balikpapan, air dan pohon seolah menyatu. Bahkan, bekantan yang merupakan satwa endemik di sana pun hidup dengan lincah memanjat pohon dan juga berenang. Hutan mangrove faktanya adalah ekosistem yang sangat penting. Ada beberapa manfaat yang dimiliki oleh mangrove. Tanaman itu bisa mencegah terjadinya erosi dan abrasi di pesisir pantai akibat gelombang dan pasang-surut air laut. Hutan mangrove juga merupakan habitat untuk berbagai spesies, seperti kepiting, ikan, udang, burung, dan tentunya dalam hal ini bekantan. Tak hanya itu, hutan mangrove juga bisa menyerap dan menyimpan karbon tiga kali lebih efektif dari hutan terestrial dan pegunungan. Jadi, itulah alasan mengapa hutan mangrove penting dalam penanggulangan masalah pemanasan global. Jaga Hutan dengan Hidup Secara BerkelanjutanMari beranjak dari Kalimantan dan pergi ke Pulau Sumatra. Saya akan bercerita tentang perjalanan beberapa orang lainnya yang hidup secara berkelanjutan, membangkitkan ekonomi mereka, tanpa harus menyakiti hutan. Mereka adalah masyarakat di Kabupaten Musi Banyasin yang terus bergerak dalam mewujudkan visi ekonomi lestari. Masyarakat Kabupaten Musi Banyasin membuat kain gambo sebagai produk lokal dari UMKM berbasis alam. Proses pembuatannya dilakukan secara berkelanjutan, dengan meminimalisasi jumlah limbah yang dihasilkan. Kain gambo menggunakan pewarna alami dari gambir. Gambir yang dipanen oleh petani, kemudian dicacah dan direbus untuk menghasilkan cairan ekstrasi. Getah gambir dari ekstrak itu kemudian digunakan masyarakat sebagai obat, sedangkan sisa limbah gambir dari proses pengendapan digunakan sebagai pewarna alami untuk kain gambo. Selain proses pembuatan yang ramah lingkungan, adapun keunikan tersendiri, yakni gotong royong menjumput. Tahapan itu melibatkan para pengrajin untuk menjumput kain dalam menghasilkan motif yang menarik. Kain gambo memerlukan proses yang cukup lama untuk membuatnya, tetapi hingga kini para pengrajin terus semangat berkarya. Konsep ekonomi lestari yang salah satunya diusung dalam produk lokal kain gambo ini merupakan suatu hal yang perlu untuk kita teruskan dan kembangkan. Dengan begitu, kita bisa hidup selaras dengan alam dan terus berdaya. Ajakan untuk Melindungi HutanJadi, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk melindungi hutan serta segala isinya? Hutan Itu Indonesia mengajak kita untuk melakukan 5 hal ini: Saya sekiranya sudah melakukan beberapa hal di atas dan tentunya akan terus belajar sambil menambah aksi yang bisa saya lakukan. Bagaimana denganmu? Semoga, konten ini bisa menjadi pemantik untuk bersuara lebih lantang tentang hutan, ya! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar