Nah, sekilas tentang asal-usul cerita ini. Sebenernya ini adalah cerita yang aku buat dengan penuh harap dan juga pastinya usaha (karena buatnya mepet-mepet pas mau deadline). Harapannya, ya biar bisa menang.
Tapi, sebuah insiden terjadi. Dan cerita ini gak bisa di-lom-ba-in.
Okay, move.
Saran aja nih ya. Kalau kalian mau ngirim sesuatu lewat email, cek alamatnya. Udah bener atau belom. Nanti kalau gak bener, salah alamat deh. Kan repot tuh.
So, langsung aja ya. Kita mulai Part 1-nya. Hope you enjoy it! :D
A
Place You Need to Go
Tumpukan buku cukup tebal tiba-tiba
mendarat begitu saja di atas meja belajarku. Seperti biasa, Mama datang dengan
sebuah perintah yang bahkan sudah sangat melekat dalam otakku. “Besok kamu ada
ulangan matematika, kan? Belajar dengan baik. Mama tidak ingin ada satupun
kesalahan dalam lembar jawabanmu. Mengerti?”
Aku yang sedari tadi mengerjakan
pekerjaan rumah hanya menganggukkan kepala dan kembali menulis. Beberapa saat
setelah keheningan menyeruak di dalam kamarku, Mama mulai melangkah pergi.
“Oh, satu lagi,” ujar Mama ketika
sudah sampai di ambang pintu kamar. “olimpiade matematika sudah dekat. Mulai
besok, Mama sudah mempersiapkan jadwal les tambahan untuk mempersiapkan hal
itu.”
Sekali lagi, aku mengangguk seraya
membenarkan letak kacamataku yang terlihat agak kebesaran itu melorot sampai ke
hidung. Aku sudah terbiasa dengan segala perintah Mama yang harus kuturuti dan
aku tak terlalu merasa keberatan—walaupun terkadang aku ingin bebas. Sejak
kecil, aku memang sudah terdidik untuk berpikir rumit.
Mama terkadang membuatku merasa
begitu tertekan, bahkan merasa tak ubahnya seperti robot. Namun, Mama bilang
itu untuk kebaikanku. Jadi aku menuruti segala perintahnya.
***
Aku melangkah pelan diantara
murid-murid yang berlarian seraya tertawa riang dan berkelakar dengan temannya
masing-masing karena akhirnya mereka bisa pulang ke rumah. Aku tak bisa seperti
mereka—langsung pulang ke rumah dan bermain. Aku harus mengikuti beberapa
kegiatan kursus lagi setelah ini.
Sampai akhirnya, diriku hampir
sampai. Tinggal beberapa langkah lagi, aku akan melewati gerbang sekolah.
“Rean!” terdengar suara pria dewasa
memanggil namaku begitu aku melewati gerbang. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri,
mencari-cari sumber suara sambil mencari keberadaan Mama. Tapi, aku sama sekali
tak melihat keberadaan Mama. Aku pun memusatkan perhatianku kepada seorang pria
yang melambaikan tangannya di samping sebuah taksi. Dari pakaian yang ia
kenakan, sepertinya ialah sopirnya.
Aku hanya memandanginya. Ia lalu
masuk ke dalam taksi dan mengendarainya sampai di depanku.
“Rean, ayo naik! Ini perintah dari
Mamamu.” Ujarnya, menepis segala rasa penasaranku tentangnya. Dia hanyalah
sopir taksi biasa yang ditugaskan untuk menjemputku oleh Mama. Tanpa pikir
panjang, aku pun memasuki taksi.
“Jadi sekarang kita ke mana?” tanya
si sopir taksi.
“Apa Mama tidak memberitahumu?” aku
balik bertanya agak heran.
Pria berwajah ramah itu mengangkat
bahunya. “Tidak. Katakan saja tempat yang ingin kau kunjungi.”
Aku berpikir sejenak. Mama tak
pernah membiarkanku bebas pergi ke mana saja sesuai kehendakku. Karena tak
ingin menambah masalah, aku pun menjawab, “Rumah. Aku ingin pulang.”
“Aku tahu bukan itu tempat yang ingin kau kunjungi. Baiklah, kalau
begitu, aku akan mengantarmu menuju tempat yang perlu kau kunjungi.” Ia lalu menatapku dengan senyum aneh di
wajahnya. Aku sendiri tak bisa menerka apa maksudnya. “Aku akan mengendarai
taksi ini dengan sangat cepat. Kau bisa gunakan sabuk pengaman atau tutup mata
saja. Biar aman.”
Dia memang ngomong ngawur. Mana
mungkin aku bisa aman hanya dengan menutup mata? Maka dari itu, aku pun
menggunakan sabuk pengaman.
“Pilihan yang merepotkan, Rean.
Sebaiknya kau tutup mata saja.” perintahnya lagi. Aku tak mau ambil pusing
untuk hal kecil seperti itu. Aku pun menutup mataku.
Beberapa detik setelahnya, taksi
pun berjalan. Namun, semakin lama, rasanya seperti sedang berada dalam lift
yang meluncur menuju lantai terbawah dengan kecepatan super. Aku memang belum
pernah merasakannya, tapi sepertinya memang beginilah rasanya. Aku ingin
membuka mata dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh sopir taksi aneh di
sampingku ini. Akan tetapi mataku tak bisa terbuka. Apa yang sebenarnya
terjadi?
“Akhirnya kita sampai.”
Aku langsung membuka mata saat itu
juga, dan kebetulan sudah bisa. “Oh tidak.” Itulah kata pertama yang meluncur
dari mulutku begitu kedua mataku terbuka. Aku menatap keluar jendela taksi dan
aku sama sekali tak tahu di mana diriku berada. Segalanya penuh warna. Aku
bahkan tak yakin kalau aku sedang berada di bumi.
Aku melihat batang pohon tak lagi
berwarna coklat ataupun hijau. Mereka berwarna-warni seperti permen lollipop
yang sering di makan oleh Linda si gemuk di kelas. Aku melihat awan melalui
kaca depan. Awan-awan itu bahkan juga terlihat seperti permen kapas berwarna pink dan biru, atau bahkan ungu. Yang
masih terlihat normal hanyalah matahari yang nampak sedikit karena tertutupi
awan.
“Hei di mana sebenarnya ki ….” Aku
tak melanjutkan perkataanku ketika si sopir taksi tak lagi ada di sampingku. Ke
mana perginya pria aneh itu? Tapi, sebagai gantinya, aku melihat sebuah tongkat
berwarna hitam—mirip tongkat sihir dan secarik kertas pada kursi mobilnya. Aku
pun mengambilnya dan membaca kertas dengan warna kuning usang yang bertuliskan:
Temui
aku. Gunakan tongkat sihir ini untuk membantumu bertahan di dunia ini.
Semoga
berhasil!
***
So, itu dia pembukaan cerita berseri ini. Is it good or bad? Let me know through your comment! Also, kalian juga bisa ngubungin aku secara pribadi buat kritik dan saran ... lol. Okay, wait for the next part ya! See you soon!
Oh ya. Thanks to Pinterest untuk referensi foto sebagai cover. I didn't draw the cover. I took some picts from Pinterest, mixed them, and edited it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar