Cerpen ini ditulis pada suatu hari di tahun 2020. Baru posting sekarang karena baru sadar. Enjoy reading!
Jangan
Buka Mata
Entah
bagaimana ceritanya, tapi aku sudah mendapati diriku duduk menopang dagu dengan
mata setengah terbuka di dalam kelas. Ah, kurasa aku baru saja terbangun dari
tidur di siang bolong. Mungkin saking membosankannya cara Bu Susan mengajar yang
seperti hanya mengobrol dengan papan tulis itu, tanpa sadar aku mencuri waktu
sebentar untuk tidur.
Tak
ada yang menyadari ada seorang siswa tertidur di bangku belakang, bahkan Anton,
teman sebangku yang tumben tidak berniat untuk mengusikku sama sekali. Aku
mengerjap-kerjapkan mata berusaha mengenyahkan rasa kantuk yang masih sedikit
tersisa. Kubuka buku kimia yang masih tertutup rapat di mejaku.
“Halaman
berapa, Ton?”
“Nyenyak
tidurnya?”
Aku
terkesip ketika mendengar balasan berupa suara berat berisi, sangat berbeda
dengan suara Anton. Aku menoleh dan bisa kurasakan mataku membesar, barangkali
sudah berubah seukuran bola pingpong.
Orang
yang duduk di sampingku bukan lagi Anton, tapi seorang lelaki berambut cepak,
bermata tajam, dan lesung pipit tipis terlihat menghiasi wajahnya karena kini
ia tersenyum kepadaku. Aku yakin dia bukanlah Anton yang habis operasi plastik.
Perasaanku jadi tidak karuan. Belum pernah kulihat wajah seperti ini di
sekolah.
“Murid
baru?” tanyaku berusaha terdengar biasa saja, padahal kupingku panas
terdistraksi oleh suara detak jantungku yang entah kenapa terdengar begitu
keras.
KRING!!!
Begitu
mendengar bel berbunyi, ia langsung berdiri dan melupakan pertanyaanku. “Sudah
waktunya istirahat, ayo,” ia mengajakku keluar kelas. Tanpa pikir panjang aku
langsung mengekorinya. Astaga, aku bahkan belum tahu namanya siapa.
Suasana
di luar kelas mendadak berubah begitu ramai. Semua orang tampak berjalan tidak sabaran
menuju suatu tempat. Kami ikuti ke mana semua orang pergi. Kemungkinan menuju
ke lapangan basket.
“Hari perayaan ulang tahun sekolah memang
seheboh ini, ya?” tanyanya yang berjalan di sampingku.
Sebelum
merespons, aku sempat memaki-maki diri sendiri dalam hati. Baru teringat olehku
bahwa hari ini adalah hari ulang tahun sekolah. Bagaimana bisa aku lupa?
Kemudian aku menoleh, tersenyum, dan mengangguk. Suasana terlalu ribut untuk
meneruskan obrolan. Apalagi, tidak bisa kubayangkan jika aku harus lebih dekat
dengannya atau dia harus mendekatiku karena tidak bisa mendengar suara satu
sama lain.
“AYO
SEMUA KITA NYANYI BARENG!”
Terdengar
suara seseorang melalui pengeras suara diiringi musik. Suara itu semakin keras
ketika akhirnya aku sampai di lapangan basket. Semua orang bersorak-sorak,
bersemangat ingin ikut bernyanyi seraya mengangkat-angkat tangan mereka. Aku
yang baru sampai harus berjinjit ingin melihat si penyanyi. Suaranya terdengar
familiar.
Beberapa
saat kemudian, suara musik memelan, semua orang mulai tenang dan siap mendengar
si penyanyi melantunkan lagu berikutnya.
“Anton?!”
aku hampir memekik saking tidak percayanya. Teman sebangkuku itu sedang berdiri
di atas panggung, siap bernyanyi. Aku siap menutup telinga.
“Kamu kenal dia? Suaranya bagus,”
Tidak
bisa kupungkiri bahwa suara Anton mendadak jadi bagus. Mungkin dia lip sinc, tapi beberapa orang tampak
terkagum-kagum dengan menyoraki namanya. Terlepas dari apapun yang sedang
merasukinya, aku bangga pada temanku itu.
Beberapa
saat setelah manggung, Anton menghampiriku. Semakin jelas kulihat sosoknya yang
tampil beda dengan jaket denim, bawahan ripped
jeans, dan sepatu sneakers putih.
Rasanya sudah lama ketika terakhir kali melihatnya sebagai “cowok hoodie” yang bahkan enggan
memperlihatkan wajahnya.
“Acaraku
sudah selesai. Nggak apa-apa kalau mau pergi sekarang.”
Anton
tersenyum kepadaku dan cowok di sampingku, seolah ia sudah biasa melihat kita
berdua. Aku ingin mengobrol lebih banyak dengan Anton, tapi beberapa orang
tiba-tiba mengerumuninya. Terpaksa aku harus mundur.
Segalanya
terjadi begitu cepat, aku berusaha memprosesnya.
“Ayo
keluar dari sini,” cowok itu masih berdiri di sampingku. Ia tersenyum. Seketika
napasku tertahan. Tidak ada satupun kata yang bisa kukeluarkan. Maka aku hanya
mengangguk mengiyakan.
Kami
keluar dari sekolah, kemudian pergi menuju taman kota. Ia masih berjalan
beriringan denganku. Entah kenapa rasanya aku sudah mengenalnya sejak lama.
Kami yang sama-sama tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak lantas membuat
suasana serasa canggung. Bahkan sepertinya, ia sengaja diam karena ia tahu apa
yang sedang kurasakan, apa yang sedang kupikirkan.
Aku merasa kesal. Tak bisa kuketahui dengan
pasti alasan kenapa aku merasa begitu kesal, dicampur sedikit kesedihan, dan
rasa kecewa. Berbagai jenis perasaan tercampur aduk, tak terdefinisi, tak bisa
diungkapkan. Mungkin ini tentang Anton yang tiba-tiba jadi keren dan seolah
mulai melupakanku, teman sebangkunya yang sering diganggu kalau dia bosan.
Sisi
baiknya, orang baru datang begitu saja ke kehidupanku dan benar-benar
menggantikan peran Anton sebagai teman di dalam dan di luar kelas. Kehadirannya
membuatku merasa tenang, meskipun ia tidak banyak bicara. Namun, ia menunjukkan
begitu banyak hal dalam beberapa jam terakhir.
Ia
membawaku ke toko roti yang bahkan menjual croissant
terbaik kedua setelah buatan Mama. Wangi yang menguar dari roti itu hampir sama
dengan wangi croissant yang hadir di
atas meja makan setiap akhir pekan. Ia membelikanku es krim vanilla tanpa
bertanya dulu, seakan ia sudah tahu itu adalah rasa favoritku. Ia juga
membawaku ke perpustakaan dan menemukan buku yang telah lama kucari-cari—buku yang dulu sempat dijanjikan
oleh Mama.
Sayangnya,
waktu berjalan begitu cepat ketika bersamanya. Mentari sudah menyingsing di
ufuk barat, menyisakan kombinasi warna oranye, biru, dan merah muda di langit.
Namun sebelum hari ini berakhir, ia mengajakku untuk menaiki bianglala. Wahana
itu terletak tidak jauh dari sekolah. Aku pun mengiyakan.
“Semuanya
terlihat indah dari sini,” ujarnya ketika bianglala sudah bergerak.
Aku
menengok ke samping. Langit sudah gelap, membiarkan semua lampu di perumahan
terlihat semakin berpendar indah. Semua pemandangan itu membuatku déjà vu. Sudah lama sekali, sejak
terakhir kali aku menaiki bianglala. Kalau tidak salah, itu sudah
bertahun-tahun lalu dengan Mama.
“Pertama
kali aku naik bianglala itu waktu aku masih kecil. Mama terus-terusan mendekapku,
takut aku jatuh.” Ungkapku sambil terkekeh.
“Mamamu
nggak akan marah, kan?”
Pertanyaan
itu membungkamku. Sebelum aku sempat menjawab, bianglala tiba-tiba berhenti
berputar. Tepat ketika kami berdua berada di titik paling atas.
“Kenapa
tiba-tiba berhenti?” aku panik.
“Sepertinya
kita harus lompat.” Dari nada bicaranya, jelas ia juga sedang panik.
“Apa?!”
“Nggak
apa-apa, percaya sama aku.”
Aku
memercayainya.
“Tutup
mata dan lompat!”
Aku
memercayainya, maka kututup mataku. Aku melangkah menaiki tempat duduk dan
sudah siap melompat. Setelah itu, ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Kurasa ia
sudah melompat duluan.
Aku
pun menghempaskan diri. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakannya, “Jangan
buka mata!”
Kurasakan
seluruh tubuhku tertarik oleh gravitasi bumi. Kukira aku akan terbang, tapi
sesuatu membuatku tersentak, dan aku membuka mata.
“Heh,
molor mulu kerjaannya!”
Anton
baru saja menyentil keningku, seperti biasa.
Plot twits di akhir sudah kuduga hehe bagus gan lanjutin bikin judul yang lain,
BalasHapusjangan lupa kunjungi balik dan tinggalin komen,
https://aisurunihongo.blogspot.com/2021/02/lirik-terjemahan-maki-otsuki-memories.html
waduh ketauan heheh makasi gan udah baca,
Hapussiapp
Cerpennya bagus mbak
BalasHapuswah makasi yaa^^
Hapus