oke, ceritanya gini. aku mengikuti sebuah event di penerbit indie, dengan tema surat. so, i wrote this story, and they choose me as a contributor.
baik, kita lanjut. ini dia cerpennya! selamat membaca!
Reverenge
Sebuah
truk melaju dengan begitu kencang. Tanpa memperhatikan lampu merah yang menyala
pada rambu lalu lintas, truk tersebut menerobos dengan kecepatan tinggi. Dan tepat
pada saat itu juga, sebuah tragedi terjadi. Tragedi yang melibatkan antara
pengendara truk dengan dua orang penyeberang jalan.
Beberapa
menit setelah tragedi, tempat kejadian dikerumuni oleh begitu banyak orang.
Suara sirine ambulans dan juga mobil polisi memekakan telinga di sekitar tempat
kejadian.
Tragedi
tersebut telah merenggut nyawa dua orang, yang diketahui merupakan sepasang
suami istri yang tengah menyeberang. Suasana sendu dan haru menyelimuti tempat
kejadian.
“Mama…!
Bangun…!” seorang gadis berusia sekitar empat belas tahun terlihat terisak
sembari mengguncang-guncang tubuh korban wanita yang kini telah tak bernyawa.
Lalu, ia juga histeris begitu melihat korban pria yang juga telah tergeletak
tak bernyawa. “Papa…, jangan tinggalkan aku dan kakak!” ucap gadis itu lirih
dan memeluk jasad Ayahnya yang telah tak bernyawa.
Dan
seorang lelaki terlihat menguraikan air mata, berdiri di belakang gadis yang
tengah terisak tersebut. Dengan tatapan nanar dan perasaan hancur, lelaki
tersebut menatap kenyataan pahit yang tengah ia hadapi. Tepat pada hari di mana
lelaki tersebut telah menginjak umur ke lima belas tahun, ia melihat kedua
orang tuanya tergeletak tak bernyawa akibat sebuah kecelakaan.
***
“Kakak!”
terdengar suara seorang gadis memekik dari arah pintu rumah. Dengan langkah
lebar, David pergi menuju sumber suara untuk memastikan apa yang telah membuat
adiknya terdengar begitu panik.
“Kenapa,
Stella?” David mendapati adiknya gemetaran menatap sepucuk surat yang dipegangnya.
Benar-benar gemetaran. Seakan ketakutan telah menjalari seluruh tubuhnya dan ia
tak bisa berkutik lagi.
“Kakak…,”
ucap Stella lirih.
David
sudah tak sabar. Ia pun merebut surat yang sebelumnya ada di tangan adiknya dan
dengan sekejap, telah berada ditangannya. Seketika, matanya melebar begitu
melihat beberapa kata yang tertulis pada surat tersebut.
“Surat
ini…,” David mundur selangkah dengan tatapan tak percaya. Perlahan, ia juga
mulai gemetaran.
“Kakak…,
bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?” Stella terlihat begitu panik.
Bahkan, ia hampir menangis karena surat yang baru saja ia terima.
Entah
apa yang mereka takutkan dari secarik kertas tersebut. Namun yang jelas, masa
lalu akan kembali menghantui mereka. Di mana sebuah teror, kembali membayangi
mereka melalui surat yang kini bertuliskan,”AKU AKAN MENGHANCURKAN KALIAN!”
Tak
diketahui surat tersebut dikirim oleh siapa. Bahkan alamat si pengirim tak
tercantum pada surat. David dan Stella semakin yakin, bahwa ini adala teror
yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Mereka sempat mengalami hal seperti ini
sebelumnya. Namun mereka anggap remeh, sebelum akhirnya kenyataan menyatakan bahwa
teror tersebut merupakan penyebab kedua orang tua mereka meninggal.
Suasana
hening menyelimuti seluruh ruangan yang tampak begitu suram. Dan pada saat itu
juga, ketukan pintu terdengar begitu memekakan telinga. Stella merasa takut
untuk membuka pintu. Pikirannya bercabang kemana-mana tentang bahaya yang
sepertinya tengah mengancamnya. Begitu juga dengan kakaknya, David.
“Kakak…,”
Stella bersembunyi di balik punggung kakaknya dan masih terlihat gemetaran.
Sedangkan David mencoba untuk terlihat tegar dan berani. “Tenang saja,” ucap
David dengan suara yang diusahakan terdengar biasa saja—seolah tak terjadi
apapun pada saat itu.
David
menatap pintu yang berbunyi karena seseorang mengetuknya dari luar. Ia tak tahu
siapa itu. Dan mencoba mencari tahu tanpa rasa takut sedikitpun.
Setelah
mengumpulkan keberanian, akhirnya David pun membuka pintu dengan gerakan cepat.
Ia sedikit tertegun begitu melihat seseorang yang berdiri di depannya.
Sedangkan Stella masih tampak begitu ketakutan, bersembunyi di balik punggung
David.
“Paman
Bram?” celetuk David sehingga membuat rasa takut Stella kian menghilang. “Paman
Bram?” gumam Stella pada dirinya sendiri. Ia pun keluar dari persembunyiannya
dan menatap seorang pria berwajah ramah di ambang pintu dengan perasaan teramat
sangat lega.
“Ah,
ternyata paman Bram!”
Paman
Bram mengerutkan kening lalu menatap Stella dan David bergantian. Seolah sedang
membaca keadaan yang baru saja terjadi di antara mereka. “Memangnya kalian
kenapa?” tanya paman Bram. Karena tak ada respon, paman Bram pun hanya
mengangkat bahu dan berusaha bersikap acuh tak acuh lalu berjalan melewati
Stella dan David menuju ke dalam ruang tamu tanpa dipersilahkan sebelumnya.
Paman
Bram adalah seorang supir truk yang telah mengakibatkan kedua orang tua Stella
dan David meninggal. Paman Bram sendiri, sempat berjanji akan menanggung biaya
hidup Stella dan David seumur hidup sebagai hukumannya. Jadi, ia cukup sering
mengunjungi David dan Stella.
“Hei,
kenapa suasana begitu tegang?” ujar Paman Bram sembari menjatuhkan diri pada
sofa coklat di ruang tamu. Ia memang cukup pandai dalam membaca keadaan.
David
terlihat sama sekali tak menghiraukan Paman Bram. Lelaki itu berdiri mematung
dengan tatapan kosong dan secarik kertas yang telah diremas-remas. Lalu David
langsung membuang secarik kertas yang telah membuatnya begitu ketakutan dengan
sembarangan.
Begitu
kertas dibuang, Paman Bram langsung mengambil kembali kertas tersebut. Ia
membukanya secara perlahan dan meluruskan kertas tersebut. “Apa maksudnya ini?”
tanya paman Bram tanpa nada khawatir sama sekali setelah membaca isi suratnya.
“Sepertinya
si peneror itu belum puas dengan pembalasan dendamnya,” David memberikan sebuah
kemungkinan. “dan aku sepertinya tau siapa di balik semua ini.”
Paman
Bram mengangkat sebelah alisnya. Mencoba mencerna makna dari kalimat yang baru
saja diucapkan oleh David. “Siapa memangnya?”
Sebuah
memori tentang masa lalu yang kelam, kembali berputar dalam benak David. Tiga
tahun yang lalu, mereka sempat menerima surat aneh yang entah siapa dan
darimana berasal. Tak tercantum nama ataupun alamat pengirim pada setiap surat
yang mereka terima. Surat demi surat terus mendatangi mereka dengan
tulisan-tulisan aneh dan mengancam. Namun saat itu, Stella dan David tak
terlalu menggubris mengenai teror melalui surat tersebut. Mereka menganggap itu
hanyalah kelakuan iseng orang-orang yang tak perlu dipikirkan terlalu serius.
Sampai
pada akhirnya, David dan Stella menyadari, surat-surat yang mendatangi mereka
tersebut bukanlah ulah orang iseng atau tidak main-main. Karena teror itu,
nyawa kedua orang tua mereka telah direnggut. Kecelakaan yang sempat terjadi
tiga tahun yang lalu, itu merupakan ulah si pengirim surat. David meyakini hal
tersebut. Karena sebelum kecelakaan terjadi, ia sempat menerima sebuah surat
yang bertuliskan, ‘Ayah dan Ibumu, jangan biarkan mereka keluar.’
David
benar-benar menyesal telah mengabaikan surat tersebut. Dan ia juga tak berani
melaporkan apapun pada pihak berwajib mengenai teror yang ia alami. Karena
sebuah ancaman telah membuat David menutup mulutnya rapat-rapat dan diam saja
atau tak melakukan tindakan apapun. Sebuah ancaman yang akan merenggut nyawa
adiknya sendiri.
“Hentikan
semua ini.” tiba-tiba David berkata dengan suara dingin dan tatapan tajam
mengarah kepada Paman Bram. “Hei, kau kenapa?” tanya Paman Bram sambil
tersenyum yang terkesan dipaksakan.
David
tertawa kecil. “Kau dibalik semua ini, kan?” saat itu, Stella benar-benar
bingung. Ia tak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh kakaknya dan Paman Bram.
“Hei, dia orang baik.” Stella seperti orang yang tak diperlukan di antara
pembicaraan dingin itu. Sehingga ia tak digubris sama sekali.
“Wah,
anak ini hebat juga. Darimana kau tau?” sudut bibir Paman Bram terangkat ke
atas—memberi tanda bahwa sifat liciknya yang telah muncul ke permukaan. “Aku
tau betul bagaimana tulisanmu. Dan tulisanmu dengan tulisan yang ada di surat
ini, bentuknya begitu mirip!” David mengepalkan tangannya di samping badan.
Rasanya ia hampir tak bisa mengontrol tangannya lagi untuk tak memukul Paman
Bram.
Stella
menutup mulutnya dengan sebelah tangan—berusaha untuk membungkam beberapa saat.
Diam-diam, pada saat itu juga Stella mengambil kesempatan untuk pergi ke suatu
tempat.
Tiba-tiba
Paman Bram tertawa dengan keras. “Hahaha…, mungkin hari inilah saatnya! Aku
akan menghancurkan keluarga ini! Dan sekarang, aku hanya harus melenyapkan
kalian dari kehidupanku!”
“Apa
salah kita?” tanya David berusaha untuk tetap tenang.
“Aku
mencintai Ibu kalian. Sangat mencintainya. Aku sudah berusaha untuk
mendapatkannya. Tapi apa hasil yang kudapat? Ayah kalian…, Ayah kalian
merebutnya begitu saja! kalian tau bagaimana perasaanku? Aku melihat Ayah dan
Ibu kalian membangun sebuah keluarga yang didasari oleh cinta dan kasih sayang.
Terlihat sangat bahagia. Namun cinta yang kurasakan? Kenapa tidak bisa seperti
itu? kenapa?!” tiba-tiba Paman Bram mendekati David dengan mata melotot dan
berkata, “Aku, akan menghancurkanmu dan juga adikmu itu!”
Paman
Bram perlahan mengambil sesuatu dari saku celananya. Dan yang ia ambil
merupakan sebuah pistol. David sebenarnya sudah begitu gemetaran dan tak bisa bersikap
tenang lagi saat melihat pistol itu ditujukan padanya.
“Inilah,
akhir dari hidupmu! Dan ini surat terakhir untukmu.” Paman Bram mengambil
kertas dari dalam sebuah amplop dan memperlihatkannya pada David. Kertas
tersebut bertuliskan, ‘Jangan abaikan suratku lagi.’
Waktu
untuk David bisa hidup sangatlah tipis. Dan Paman sudah akan menarik
pelatuknya.
Selang
beberapa detik kemudian, keajaiban terjadi. Beberapa orang terdengar menggebrak
pintu rumah David dan menerobos masuk dengan cepat. Sekelompok petugas
kepolisian datang dengan menodongkan pistol kearah Paman Bram. Sekarang,
gantinya Paman Bram yang benar-benar panik dan akhirnya memutuskan untuk angkat
tangan lalu menjatuhkan pistolnya.
Namun,
saat itu David terlonjak kaget begitu merasakan seseorang menepuk pundaknya.
Dengan cepat, ia berbalik dan melihat seorang gadis tersenyum manis kepadanya.
Gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dan mengakhiri kisah kelamnya, yaitu
adiknya sendiri, Stella.
***
Oke, itulah tadi cerpen saya yang sudah ada dalam buku kumcer yang diterbitkan oleh penerbit infinite publisher. btw, ada yang berkenan untuk membeli bukunya mungkin? bisa cari di fanpage (fb) infinite publisher.
see you ya! semoga bermanfaat, and thanks for reading ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar