Cerpen Event Surat: Reverenge - My Life My Journey

What's New?

Selasa, 13 Oktober 2015

Cerpen Event Surat: Reverenge

Heihooo, kembali lagi ^^)/ btw, aku mau post cerpenku yang udh dibukuin nih~~ walaupun hanya sebagai kontributor, tapi tetep bersyukur setidaknya telah diterbitkan. ceritanya gini. eh, kalau nggak pengen tau bisa langsung baca cerpen aja. ini hanya pengantar yang bertele-tele.
oke, ceritanya gini. aku mengikuti sebuah event di penerbit indie, dengan tema surat. so, i wrote this story, and they choose me as a contributor.
baik, kita lanjut. ini dia cerpennya! selamat membaca!



Reverenge

Sebuah truk melaju dengan begitu kencang. Tanpa memperhatikan lampu merah yang menyala pada rambu lalu lintas, truk tersebut menerobos dengan kecepatan tinggi. Dan tepat pada saat itu juga, sebuah tragedi terjadi. Tragedi yang melibatkan antara pengendara truk dengan dua orang penyeberang jalan.
Beberapa menit setelah tragedi, tempat kejadian dikerumuni oleh begitu banyak orang. Suara sirine ambulans dan juga mobil polisi memekakan telinga di sekitar tempat kejadian.
Tragedi tersebut telah merenggut nyawa dua orang, yang diketahui merupakan sepasang suami istri yang tengah menyeberang. Suasana sendu dan haru menyelimuti tempat kejadian.
“Mama…! Bangun…!” seorang gadis berusia sekitar empat belas tahun terlihat terisak sembari mengguncang-guncang tubuh korban wanita yang kini telah tak bernyawa. Lalu, ia juga histeris begitu melihat korban pria yang juga telah tergeletak tak bernyawa. “Papa…, jangan tinggalkan aku dan kakak!” ucap gadis itu lirih dan memeluk jasad Ayahnya yang telah tak bernyawa.
Dan seorang lelaki terlihat menguraikan air mata, berdiri di belakang gadis yang tengah terisak tersebut. Dengan tatapan nanar dan perasaan hancur, lelaki tersebut menatap kenyataan pahit yang tengah ia hadapi. Tepat pada hari di mana lelaki tersebut telah menginjak umur ke lima belas tahun, ia melihat kedua orang tuanya tergeletak tak bernyawa akibat sebuah kecelakaan.
***
“Kakak!” terdengar suara seorang gadis memekik dari arah pintu rumah. Dengan langkah lebar, David pergi menuju sumber suara untuk memastikan apa yang telah membuat adiknya terdengar begitu panik.
“Kenapa, Stella?” David mendapati adiknya gemetaran menatap sepucuk surat yang dipegangnya. Benar-benar gemetaran. Seakan ketakutan telah menjalari seluruh tubuhnya dan ia tak bisa berkutik lagi.
“Kakak…,” ucap Stella lirih.
David sudah tak sabar. Ia pun merebut surat yang sebelumnya ada di tangan adiknya dan dengan sekejap, telah berada ditangannya. Seketika, matanya melebar begitu melihat beberapa kata yang tertulis pada surat tersebut.
“Surat ini…,” David mundur selangkah dengan tatapan tak percaya. Perlahan, ia juga mulai gemetaran.
“Kakak…, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?” Stella terlihat begitu panik. Bahkan, ia hampir menangis karena surat yang baru saja ia terima.
Entah apa yang mereka takutkan dari secarik kertas tersebut. Namun yang jelas, masa lalu akan kembali menghantui mereka. Di mana sebuah teror, kembali membayangi mereka melalui surat yang kini bertuliskan,”AKU AKAN MENGHANCURKAN KALIAN!”
Tak diketahui surat tersebut dikirim oleh siapa. Bahkan alamat si pengirim tak tercantum pada surat. David dan Stella semakin yakin, bahwa ini adala teror yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Mereka sempat mengalami hal seperti ini sebelumnya. Namun mereka anggap remeh, sebelum akhirnya kenyataan menyatakan bahwa teror tersebut merupakan penyebab kedua orang tua mereka meninggal.
Suasana hening menyelimuti seluruh ruangan yang tampak begitu suram. Dan pada saat itu juga, ketukan pintu terdengar begitu memekakan telinga. Stella merasa takut untuk membuka pintu. Pikirannya bercabang kemana-mana tentang bahaya yang sepertinya tengah mengancamnya. Begitu juga dengan kakaknya, David.
“Kakak…,” Stella bersembunyi di balik punggung kakaknya dan masih terlihat gemetaran. Sedangkan David mencoba untuk terlihat tegar dan berani. “Tenang saja,” ucap David dengan suara yang diusahakan terdengar biasa saja—seolah tak terjadi apapun pada saat itu.
David menatap pintu yang berbunyi karena seseorang mengetuknya dari luar. Ia tak tahu siapa itu. Dan mencoba mencari tahu tanpa rasa takut sedikitpun.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya David pun membuka pintu dengan gerakan cepat. Ia sedikit tertegun begitu melihat seseorang yang berdiri di depannya. Sedangkan Stella masih tampak begitu ketakutan, bersembunyi di balik punggung David.
“Paman Bram?” celetuk David sehingga membuat rasa takut Stella kian menghilang. “Paman Bram?” gumam Stella pada dirinya sendiri. Ia pun keluar dari persembunyiannya dan menatap seorang pria berwajah ramah di ambang pintu dengan perasaan teramat sangat lega.
“Ah, ternyata paman Bram!”
Paman Bram mengerutkan kening lalu menatap Stella dan David bergantian. Seolah sedang membaca keadaan yang baru saja terjadi di antara mereka. “Memangnya kalian kenapa?” tanya paman Bram. Karena tak ada respon, paman Bram pun hanya mengangkat bahu dan berusaha bersikap acuh tak acuh lalu berjalan melewati Stella dan David menuju ke dalam ruang tamu tanpa dipersilahkan sebelumnya.
Paman Bram adalah seorang supir truk yang telah mengakibatkan kedua orang tua Stella dan David meninggal. Paman Bram sendiri, sempat berjanji akan menanggung biaya hidup Stella dan David seumur hidup sebagai hukumannya. Jadi, ia cukup sering mengunjungi David dan Stella.
“Hei, kenapa suasana begitu tegang?” ujar Paman Bram sembari menjatuhkan diri pada sofa coklat di ruang tamu. Ia memang cukup pandai dalam membaca keadaan.
David terlihat sama sekali tak menghiraukan Paman Bram. Lelaki itu berdiri mematung dengan tatapan kosong dan secarik kertas yang telah diremas-remas. Lalu David langsung membuang secarik kertas yang telah membuatnya begitu ketakutan dengan sembarangan.
Begitu kertas dibuang, Paman Bram langsung mengambil kembali kertas tersebut. Ia membukanya secara perlahan dan meluruskan kertas tersebut. “Apa maksudnya ini?” tanya paman Bram tanpa nada khawatir sama sekali setelah membaca isi suratnya.
“Sepertinya si peneror itu belum puas dengan pembalasan dendamnya,” David memberikan sebuah kemungkinan. “dan aku sepertinya tau siapa di balik semua ini.”
Paman Bram mengangkat sebelah alisnya. Mencoba mencerna makna dari kalimat yang baru saja diucapkan oleh David. “Siapa memangnya?”
Sebuah memori tentang masa lalu yang kelam, kembali berputar dalam benak David. Tiga tahun yang lalu, mereka sempat menerima surat aneh yang entah siapa dan darimana berasal. Tak tercantum nama ataupun alamat pengirim pada setiap surat yang mereka terima. Surat demi surat terus mendatangi mereka dengan tulisan-tulisan aneh dan mengancam. Namun saat itu, Stella dan David tak terlalu menggubris mengenai teror melalui surat tersebut. Mereka menganggap itu hanyalah kelakuan iseng orang-orang yang tak perlu dipikirkan terlalu serius.
Sampai pada akhirnya, David dan Stella menyadari, surat-surat yang mendatangi mereka tersebut bukanlah ulah orang iseng atau tidak main-main. Karena teror itu, nyawa kedua orang tua mereka telah direnggut. Kecelakaan yang sempat terjadi tiga tahun yang lalu, itu merupakan ulah si pengirim surat. David meyakini hal tersebut. Karena sebelum kecelakaan terjadi, ia sempat menerima sebuah surat yang bertuliskan, ‘Ayah dan Ibumu, jangan biarkan mereka keluar.’
David benar-benar menyesal telah mengabaikan surat tersebut. Dan ia juga tak berani melaporkan apapun pada pihak berwajib mengenai teror yang ia alami. Karena sebuah ancaman telah membuat David menutup mulutnya rapat-rapat dan diam saja atau tak melakukan tindakan apapun. Sebuah ancaman yang akan merenggut nyawa adiknya sendiri.
“Hentikan semua ini.” tiba-tiba David berkata dengan suara dingin dan tatapan tajam mengarah kepada Paman Bram. “Hei, kau kenapa?” tanya Paman Bram sambil tersenyum yang terkesan dipaksakan.
David tertawa kecil. “Kau dibalik semua ini, kan?” saat itu, Stella benar-benar bingung. Ia tak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh kakaknya dan Paman Bram. “Hei, dia orang baik.” Stella seperti orang yang tak diperlukan di antara pembicaraan dingin itu. Sehingga ia tak digubris sama sekali.
“Wah, anak ini hebat juga. Darimana kau tau?” sudut bibir Paman Bram terangkat ke atas—memberi tanda bahwa sifat liciknya yang telah muncul ke permukaan. “Aku tau betul bagaimana tulisanmu. Dan tulisanmu dengan tulisan yang ada di surat ini, bentuknya begitu mirip!” David mengepalkan tangannya di samping badan. Rasanya ia hampir tak bisa mengontrol tangannya lagi untuk tak memukul Paman Bram.
Stella menutup mulutnya dengan sebelah tangan—berusaha untuk membungkam beberapa saat. Diam-diam, pada saat itu juga Stella mengambil kesempatan untuk pergi ke suatu tempat.
Tiba-tiba Paman Bram tertawa dengan keras. “Hahaha…, mungkin hari inilah saatnya! Aku akan menghancurkan keluarga ini! Dan sekarang, aku hanya harus melenyapkan kalian dari kehidupanku!”
“Apa salah kita?” tanya David berusaha untuk tetap tenang.
“Aku mencintai Ibu kalian. Sangat mencintainya. Aku sudah berusaha untuk mendapatkannya. Tapi apa hasil yang kudapat? Ayah kalian…, Ayah kalian merebutnya begitu saja! kalian tau bagaimana perasaanku? Aku melihat Ayah dan Ibu kalian membangun sebuah keluarga yang didasari oleh cinta dan kasih sayang. Terlihat sangat bahagia. Namun cinta yang kurasakan? Kenapa tidak bisa seperti itu? kenapa?!” tiba-tiba Paman Bram mendekati David dengan mata melotot dan berkata, “Aku, akan menghancurkanmu dan juga adikmu itu!”
Paman Bram perlahan mengambil sesuatu dari saku celananya. Dan yang ia ambil merupakan sebuah pistol. David sebenarnya sudah begitu gemetaran dan tak bisa bersikap tenang lagi saat melihat pistol itu ditujukan padanya.
“Inilah, akhir dari hidupmu! Dan ini surat terakhir untukmu.” Paman Bram mengambil kertas dari dalam sebuah amplop dan memperlihatkannya pada David. Kertas tersebut bertuliskan, ‘Jangan abaikan suratku lagi.’
Waktu untuk David bisa hidup sangatlah tipis. Dan Paman sudah akan menarik pelatuknya.
Selang beberapa detik kemudian, keajaiban terjadi. Beberapa orang terdengar menggebrak pintu rumah David dan menerobos masuk dengan cepat. Sekelompok petugas kepolisian datang dengan menodongkan pistol kearah Paman Bram. Sekarang, gantinya Paman Bram yang benar-benar panik dan akhirnya memutuskan untuk angkat tangan lalu menjatuhkan pistolnya.
Namun, saat itu David terlonjak kaget begitu merasakan seseorang menepuk pundaknya. Dengan cepat, ia berbalik dan melihat seorang gadis tersenyum manis kepadanya. Gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dan mengakhiri kisah kelamnya, yaitu adiknya sendiri, Stella.
***

Oke, itulah tadi cerpen saya yang sudah ada dalam buku kumcer yang diterbitkan oleh penerbit infinite publisher. btw, ada yang berkenan untuk membeli bukunya mungkin? bisa cari di fanpage (fb) infinite publisher.
see you ya! semoga bermanfaat, and thanks for reading ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages