CERPEN: Kita Sudah Sejauh Ini - My Life My Journey

What's New?

Minggu, 10 Januari 2021

CERPEN: Kita Sudah Sejauh Ini

Akhirnya, kembali lagi dengan postingan cerpen. Setelah memerlukan waktu cukup lama untuk menyadari kalau sebenarnya masih ada stok cerpen yang kalau dibuang sayang. Anyway, cerpen ini dibuat di tahun 2020, entah pada bulan apa. Intinya, karya yang dibuat di tahun 2020 adalah hasil dari kejenuhan because we all know how 2020 went like. 

Tanpa banyak basa-basi lagi, selamat membaca cerpen ini!



Kita Sudah Sejauh Ini

 

Di atas atap gedung, kita saksikan kehidupan seantero kota melalui cahaya-cahaya lampu. Kau duduk di sampingku sembari sibuk bercerita, aku sibuk mendengarkan. Angin malam berdesir, tetapi itu sama sekali tidak mengusikmu yang hanya memakai terusan putih tak berlengan, sedangkan aku malah berlindung di balik jaket kulit tebal. Sepertinya kau memang tidak pernah terusik oleh apapun. Kau terus bercerita, membangkitkan memori yang sudah lama ingin kukubur dalam-dalam.

“Di sana, tempat pertama kali kita ketemu. Gelap banget, hampir nggak kelihatan kalau malam-malam begini.” Kau menunjuk bangunan berlantai tiga yang tidak jauh dari pusat kota. Aku mulai terkekeh. Sekolah di malam hari memang gelap, seperti tak berpenghuni jika dibandingkan bangunan-bangunan di sampingnya.

“Sekarang, kita cuma bisa mengenang kehidupan yang pernah ada di sana. Kita sudah sejauh ini, tapi rasanya baru kemarin kita jadi anak sekolahan, kan?”

Aku melihatmu mengulaskan senyum. Rambutmu yang tergerai bergerak-gerak dimainkan oleh angin. Kau begitu dekat, tetapi juga begitu jauh tak tergapai.

Terlalu asyik memandangimu, membuatku lupa untuk merespons. Tadinya, aku mau mengiyakan ucapanmu. Alih-alih, aku mendapati diriku ikut tersenyum.

Hingga akhirnya, kau menoleh membalas tatapanku. “Kita sudah sejauh ini ….” Kau mengulangi kata-kata itu lagi. Aku tersentak, mengalihkan pandangan.

Keheningan menyeruak. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Kurapatkan jaket untuk menguatkan diri.

“Di sana, kamu ingat?” kau mulai bicara lagi sembari menunjuk ke suatu titik. Di sana, di sisi kota yang ramai dan gemerlap oleh cahaya warna-warni, tampak bianglala berputar menonjol dari tempatku berdiri. “Kita pernah menghabiskan waktu di sana!” seruan penuh semangat itu terdengar tidak asing. Setiap seruanmu terdengar familiar. “Secara tidak langsung, kita jadi saksi orang-orang yang sedang jatuh cinta, tersesat, atau mungkin orang-orang yang sedang berusaha melupakan kesedihannya dari sini. Bayangkan, pasti banyak sekali yang sedang terjadi di sana detik ini, sedangkan yang kita rasakan hanya keheningan.”

Aku pun yakin ada banyak cerita yang terjadi di karnaval itu. Barangkali momen yang kita miliki di sana terulang, tetapi oleh dua orang yang berbeda. Kenangan itu kembali menyusup ke dalam benakku dan membangkitkan rasa rindu. Kini aku benar-benar berharap kau berhenti sejenak. Harusnya aku tidak datang menemuimu.

“Oh, lihat!”

Aku ingin berhenti mendengarkanmu.

“Di sana!”

Tapi aku benar-benar merindukanmu. Lagi-lagi kuarahkan tatapanku ke tempat yang kau tunjuk. Ceritamu terlalu indah untuk dilewatkan.

“Jantung kota. Ah, di sana pasti ada lebih banyak hal yang terjadi. Tapi aku yakin, orang-orang yang sedang jatuh cinta ada di mana-mana. Cerita menarik apalagi yang bisa terjadi di jantung kota selain itu?”

Pertanyaan itu membuatku tersenyum miris. Kau tahu apa yang ada di pikiranku.

“Oh ya, orang-orang yang patah hati, putus cinta. Selain itu, apa lagi?”

Kini aku tertawa kecil dan kau selalu tahu apa artinya.

“Hahah, iya. Orang-orang yang jatuh cinta lagi dan kembali pada orang yang sama.”

Aku mengangguk dengan senyuman yang masih tersisa. Jantung kota dengan alun-alunnya yang selalu ramai itu telah menjadi latar berbagai kenangan. Di sana, aku pernah melihatmu tertawa terpingkal-pingkal hingga menangis tersedu-sedu. Dan semua itu karena aku.

“Kembang api!” Kau berseru lagi. Kali ini hampir berteriak.

Aku mengikuti arah pandangmu. Di atap gedung lain, tampak sekumpulan orang berpesta. Kita mendengarkan kembang api berkeletup-keletup dan melihatnya mekar dengan begitu indah, kemudian perlahan menghilang bagai ditelan langit hitam. Samar-samar, terdengar juga sorak sorai orang-orang yang berpesta itu.  

“Kamu tahu apa yang mereka rayakan?” Ketika mengucapkan kalimat itu, suaramu terdengar kecil. Hampir seperti sesuatu yang tidak ingin kau ucapkan, tetapi malah meluncur begitu saja dari mulutmu.

Aku menggeleng sambil menunggumu melanjutkan ucapanmu.

“Kita bisa saja sampai di sana,” kau menatapku. Sorot matamu meredup. Senyuman yang selalu menghiasi wajahmu kian memudar. Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Dan kali ini aku benar-benar tidak ingin mendengarmu.

“Tapi maaf,”

Aku memalingkan wajahku. Aku tahu kau akan mengatakannya lagi.

“Kita sudah sejauh ini, tapi aku harus pergi.”

Benar. Kita sudah sejauh ini. Namun, kau membiarkanku berjalan sendiri. Meskipun terkadang kau hadir dalam bentuk bayang-bayang. Bahkan, aku terkadang masih menganggap kita hidup di dunia yang sama. Kau masih hadir, dalam pikiranku atau seperti yang sedang terjadi saat ini.

Dadaku terasa semakin sesak. Selama setahun, aku hanya bisa mendengarmu tanpa bisa membuat memori yang baru bersama. Masih sulit untukku menerima kenyataan bahwa cerita kita kandas begitu saja. Entah aku yang tidak bisa melupakanmu, atau aku memang tidak ingin melupakanmu. Terlalu banyak kenangan yang harus dilepas.

Suaramu sudah tak terdengar lagi. Aku pun tahu, kini kau sudah menghilang lagi. Meninggalkanku lagi. Dan aku mencoba menghadirkanmu lagi, menunggumu kembali bercerita.  



4 komentar:

  1. Keren ka,, jangan lupa kunjungi blog ku ya kak :)
    Lagi merasa sedih/galau? Mungkin artikel ini bisa membantu mengatasinya.

    http://katakitaini.blogspot.com/2021/01/kamu-juga-berhak-bahagia.html

    BalasHapus

Pages